Sholat
BERDIRI
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat fardhu atau
sunnah berdiri karena memenuhi perintah Allah dalam QS. Al Baqarah :
238. Apabila bepergian, beliau melakukan sholat sunnah di atas
kendaraannya. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan sholat
khauf dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
“Peliharalah semua sholat dan sholat wustha dan
berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika kamu dalam ketakutan,
sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam
keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan
kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara
tersebut).” (QS. Al Baqarah : 238).
MENGHADAP KA’BAH
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila berdiri untuk sholat fardhu
atau sholat sunnah, beliau menghadap Ka’bah. Beliau memerintahkan
berbuat demikian sebagaimana sabdanya kepada orang yang sholatnya salah:
“Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’mu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah.”
(HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
Tentang hal ini telah turun pula firman Allah dalam Surah Al Baqarah : 115:
“Kemana saja kamu menghadapkan muka, disana ada wajah Allah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sholat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum turunnya firman Allah:
“Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke
langit. Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena
itu, hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil Haram.” (QS. Al
Baqarah : 144).
Setelah ayat ini turun beliau sholat menghadap Ka’bah.
Pada waktu sholat subuh kaum muslim yang tinggal di Quba’ kedatangan
seorang utusan Rasulullah untuk menyampaikan berita, ujarnya,
“Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka’bah. Oleh
karena itu, (hendaklah) kalian menghadap ke sana.” Pada saat itu mereka
tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar (imam
mereka memutar haluan sehingga ia mengimami mereka menghadap kiblat).
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan Ibnu Sa’ad. Baca Kitab
Al Irwa’, hadits No. 290).
MENGHADAP SUTRAH
Sutrah (pembatas yang berada di depan orang sholat) dalam sholat menjadi
keharusan imam dan orang yang sholat sendirian, sekalipun di masjid
besar, demikian pendapat Ibnu Hani’ dalam Kitab Masa’il, dari Imam
Ahmad.Beliau mengatakan, “Pada suatu hari saya sholat tanpa memasang
sutrah di depan saya, padahal saya melakukan sholat di dalam masjid
kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya,
‘Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!’ Kemudian aku memasang orang
untuk menjadi sutrah.”Syaikh Al Albani mengatakan, “Kejadian ini
merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di masjid
besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di
depannya.”Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan
janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa
engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah
dia karena dia ditemani oleh setan.”
(HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
“Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah,
hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus
sholatnya.”
(HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat
kita berdiri sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri shalat dekat
sutrah (pembatas) yang jarak antara beliau dengan pembatas di
depannya 3 hasta.”
(HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun yang dapat dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak
yang ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi
pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang semisalnya,
sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
NIAT
Niat berarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah
Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati.Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya.”
(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa’, hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak
pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, “Apakah orang
sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?” Imam Ahmad menjawab,
“Tidak.” (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu’ al Fataawaa
XXII/28).
AsSuyuthi berkata, “Yang termasuk perbuatan bid’ah adalah was-was
(selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para shahabat beliau.
Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain
hanya lafadz takbir.”
Asy Syafi’i berkata, “Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah
termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal.” (Lihat
al Amr bi al Itbaa’ wa al Nahy ‘an al Ibtidaa’).
TAKBIRATUL IHROM
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memulai sholatnya (dilakukan
hanya sekali ketika hendak memulai suatu sholat) dengan takbiratul
ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar (
)
di awal sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu
kepada orang yang sholatnya salah. Beliau bersabda kepada orang itu:
“Sesungguhnya sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia
berwudhu’ dan melakukan wudhu’ sesuai ketentuannya, kemudian ia
mengucapkan Allahu Akbar.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka
sempurnakanlah wudhu’mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah
kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, “Adapun seseorang yang membaca dalam
hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan
membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan
melafadzkannya di mulut.”
An Nawawi berkata, “…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya
untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz tabir, baik apakah
dia sedang menjadi makmum atau ketika sholat sendiri. Tidak
mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti
suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa
didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku
secara umum baik ketika membaca ayat-ayat al Qur-an, takbir, membaca
tasbih ketika ruku’, tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang
hukumnya wajib maupun sunnah…” beliau melanjutkan, “Demikianlah
nash yang dikemukakan Syafi’i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy
Syafi’i berkata dalam al Umm, ‘Hendaklah suaranya bisa didengar
sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah
volume suara lebih dari ukuran itu.’.” (al Majmuu’ III/295).
MENGANGKAT KEDUA TANGAN
Disunnahkan mengangkat kedua tangannya setentang bahu ketika bertakbir dengan merapatkan jari-jemari tangannya,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat
kedua tangannya setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap
kali bertakbir untuk ruku’ dan setiap kali bangkit dari ruku’nya.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Atau mengangkat kedua tangannya setentang telinga,
berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengangkat
kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam
sholat).”
(HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah,
Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus
ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya).
(Shifat Sholat Nabi).
BERSEDEKAP
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (bersedekap). Beliau bersabda:
“Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan
mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri
(bersedekap) ketika melakukan sholat.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya’ dengan sanad shahih).
Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang
sholat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan
kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan
tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu
Dawud dengan sanad yang shahih).
Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya
berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir
kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri,
pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah,
dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban,
hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya,
berdasarkan hadits Nasa’i dan Daraquthni:
“Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.”
(sanad shahih).
Bersedekap di dada
Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits:
“Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin
Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa’il, halaman 222 berkata:
“Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau
mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a qunut dan melakukan qunut
sebeluim ruku’. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan
teteknya.” Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi
‘Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I’lam,
beliau berkata: “Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri
di dada.”
MEMANDANG TEMPAT SUJUD
Pada saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud.
Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam sholat).”
(HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Larangan menengadah ke langit
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang keras menengadah ke
langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan
pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat
atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka.”
(HR. Muslim, Nasa’i dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda:
“Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke
kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba
yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.”
(HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma’aad ( I/248 ) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang
yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu
Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan
tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak
konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah
yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan
sebagainya.
MEMBACA DO’A ISTIFTAH
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau shallallahu
‘alaihi wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan
untuk Allah.Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang
salah melakukan sholatnya dengan sabdanya:
“Tidak sempurna sholat seseorang sebelum ia bertakbir,
mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan (doa istiftah), dan
membaca ayat-ayat al Qur-an yang dihafalnya…” (HR. Abu Dawud dan
Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diantaranya adalah:
“ALLAHUUMMA BA’ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA
BAA’ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN
KHATHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS.
ALLAAHUMMAGHSILNII MIN KHATHAAYAAYA BIL MAA’I WATS TSALJI WAL
BARADI”
artinya:
“Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan
kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan
barat. Ya, Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku
sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku
dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR.
Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
Atau kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membaca dalam sholat fardhu:
“WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA
HANIIFAN [MUSLIMAN] WA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLATII
WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAHI RABBIL ‘ALAMIIN. LAA
SYARIIKALAHU WABIDZALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL MUSLIMIIN. ALLAHUMMA
ANTAL MALIKU, LAA ILAAHA ILLA ANTA [SUBHAANAKA WA BIHAMDIKA] ANTA
RABBII WA ANA ‘ABDUKA, DHALAMTU NAFSII, WA’TARAFTU BIDZAMBI, FAGHFIRLII
DZAMBI JAMII’AN, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA. WAHDINII LI
AHSANIL AKHLAAQI LAA YAHDII LI AHSANIHAA ILLA ANTA, WASHRIF ‘ANNII
SAYYI-AHAA LAA YASHRIFU ‘ANNII SAYYI-AHAA ILLA ANTA LABBAIKA WA
SA’DAIKA, WAL KHAIRU KULLUHU FII YADAIKA. WASY SYARRULAISA ILAIKA. [WAL
MAHDIYYU MAN HADAITA]. ANA BIKA WA ILAIKA [LAA MANJAA WALAA MALJA-A
MINKA ILLA ILAIKA. TABAARAKTA WA TA'AALAITA ASTAGHFIRUKA WAATUUBU
ILAIKA"
yang artinya:
"Aku hadapkan wajahku kepada Pencipta seluruh langit dan
bumi dengan penuh kepasrahan dan aku bukanlah termasuk orang-orang
musyrik. Sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah,
Rabb semesta alam, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya. Demikianlah
aku diperintah dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi muslim.
Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tiada Ilah selain Engkau semata-mata.
[Engkau Mahasuci dan Mahaterpuji], Engkaulah Rabbku dan aku hamba-Mu,
aku telah menganiaya diriku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah
semua dosaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang berhak mengampuni semua
dosa. Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang paling baik, karena hanya
Engkaulah yang dapat memberi petunjuk kepada akhlaq yang terbaik dan
jauhkanlah diriku dari akhlaq buruk. Aku jawab seruan-Mu, sedang segala
keburukan tidak datang dari-Mu. [Orang yang terpimpin adalah orang yang
Engkau beri petunjuk]. Aku berada dalam kekuasaan-Mu dan akan kembali
kepada-Mu, [tiada tempat memohon keselamatan dan perlindungan dari
siksa-Mu kecuali hanya Engkau semata]. Engkau Mahamulia dan Mahatinggi,
aku mohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah)
MEMBACA TA’AWWUDZ
Membaca doa ta’awwudz adalah disunnahkan dalam setiap raka’at, sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Apabila kamu membaca al Qur-an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An Nahl : 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i
dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu’ III/323 dan Tamaam al
Minnah 172-177).
Nabi biasa membaca ta’awwudz yang berbunyi:
“A’UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI”
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk,
dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan
dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni,
Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan:
“A’UUZUBILLAHIS SAMII’IL ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM…”
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk…”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).
MEMBACA AL FATIHAH
Hukum Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun sholat,
jadi kalau dalam sholat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah
sholatnya berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(yang artinya):
“Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al-Fatihah”
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Jama’ah: yakni Al-Imam
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).
“Barangsiapa yang sholat tanpa membaca Al-Fatihah maka
sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya buntung…tidak
sempurna”
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca Surat Al-Fatihah
Jelas bagi kita kalau sedang sholat sendirian (munfarid) maka wajib
untuk membaca Al-Fatihah, begitu pun pada sholat jama’ah ketika imam
membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada sholat
Dhuhur, ‘Ashr, satu roka’at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka’at
terakhir sholat ‘Isyak, maka para makmum wajib membaca surat
Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak
dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…?
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah
melarang makmum membaca surat dibelakang imam kecuali surat
Al-Fatihah:
“Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang
imam kalian?” Kami menjawab: “Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah.”
Berkata Rasul: “Kalian tidak boleh melakuka
MEMBACA AMIN
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam sholat.
Dari Abu hurairah, dia berkata: “Dulu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab
(Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin.”
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi,
Ad-Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah
Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih)
“Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan amiin dengan suara keras dan panjang.”
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits tersebut mensyari’atkan para imam untuk mengeraskan bacaan
amin, demikian yang menjadi pendapat Al-Imam Al-Bukhari, As-Syafi’i,
Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al-Bukhari
membuat suatu bab dengan judul ‘baab jahr al-imaan bi al-ta-miin’
(artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin).
Didalamnya dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al-Zubair membaca
amin bersama para makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga perkataan Nafi’ (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca
aamiin dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu
kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran
dia akan hal itu.”
Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca amiin.”
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amiin itu hukumnya wajib bagi
makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy-Syaukani. Namun hukum wajib
itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan
membaca amiin ketika imam juga membacanya. Adapun bagi imam dan orang
yang sholat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul
Authaar, II/262).
“Bila imam selesai membaca ghoiril maghdhuubi ‘alaihim
waladhdhooolliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan
amiin dan imam pun mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain: “(apabila
imam mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin)
barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat
lain disebutkan: “bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam
sholat bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya
masa lalu diampuni.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa-i dan Ad-Darimi)
Syaikh Al-Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
“Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak
boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan
dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin
sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)
BACAAN SURAT SETELAH AL FATIHAH
Membaca surat Al Qur-an setelah membaca Al Fatihah dalan sholat hukumnya
sunnah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan
tidak membacanya. Membaca surat Al-Qur-an ini dilakukan pada dua
roka’at pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tentang itu.
Panjang pendeknya surat yang dibaca
Pada sholat munfarid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
surat-surat yang panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk,
sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya
(misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).Rasulullah
berkata:
“Aku melakukan sholat dan aku ingin memperpanjang
bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi
sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah
ibunya karena tangis bayi itu.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Cara membaca surat
Dalam satu sholat terkadang beliau membagi satu surat dalam dua roka’at,
kadang pula surat yang sama dibaca pada roka’at pertama dan kedua.
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Ya’la,
juga hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud dan
Al-Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim,
disahkan oleh Al-Hakim disetujui oleh Ad-Dzahabi)
Terkadang beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih dalam
satu roka’at.(Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, dinyatakan oleh At-Tirmidzi sebagai
hadits shahih)
Tata cara bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membaca surat dengan jumlah
ayat yang berimbang antara roka’at pertama dengan roka’at kedua.
(berdasar hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sholat yang bacaannya di-jahr-kan Nabi membaca dengan keras dan
jelas. Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib
pada roka’at ketiga ataupun dua roka’at terakhir sholat isya’ Nabi
membacanya dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang
membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau
memperdengarkan bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti
ketika di-jahr-kan. (Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca suatu surat
dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata:
“Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap (roka’at) ruku’ dan sujud.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Untuk setiap satu surat (dibaca) dalam satu roka’at.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Nashr dan At-Thohawi)
Dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani: “Seyogyanya kalian membaca satu
surat utuh dalam setiap satu roka’at sehingga roka’at tersebut
memperoleh haknya dengan sempurna.” Perintah dalam hadits tersebut
bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam membaca surat Al-Qur-an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat
-sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per
satu kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang
dibanding kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata
bahwa orang yang membaca Al-Qur-an kelak akan diseru:
“Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu
mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang
engkau baca.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Qur-an
dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian
itu:
“Perindahlah/hiasilah Al-Qur-an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur-an].”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari , Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Tamam Ar-Razi)
“Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur-an.”
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
RUKU’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat
dari Al-Qur-an kemudian berhenti sejenak, terus mengangkat kedua
tangannya sambil bertakbir seperti ketika takbiratul ihrom (setentang
bahu atau daun telinga) kemudian rukuk (merundukkan badan kedepan
dipatahkan pada pinggang, dengan punggung dan kepala lurus sejajar
lantai). Berdasarkan beberapa hadits, salah satunya adalah:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam
sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya,
hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika
mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’ ….”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari, Muslim dan Malik)
Cara Ruku’
> Bila Rasulullah ruku’ maka beliau meletakkan telapak tangannya pada
lututnya, demikian beliau juga memerintahkan kepada para
shahabatnya.
“Bahwasanya shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika ruku’) meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
> Menekankan tangannya pada lututnya.
“Jika kamu ruku’ maka letakkan kedua tanganmu pada kedua
lututmu dan bentangkanlah (luruskan) punggungmu serta tekankan tangan
untuk ruku’.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Dawud)
> Merenggangkan jari-jemarinya.
“Beliau merenggangkan jari-jarinya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Hakim dan dia menshahihkannya, Adz-Dzahabi dan At-Thayalisi menyetujuinya)
> Merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya.
“Beliau bila ruku’, meluruskan dan membentangkan
punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung beliau, air
tersebut tidak akan bergerak.”
(Hadits di keluarkan oleh Al Imam Thabrani, ‘Abdullah bin Ahmad dan ibnu Majah)
> Antara kepala dan punggung lurus, kepala tidak mendongak tidak
pula menunduk tetapi tengah-tengah antara kedua keadaan tersebut.
“Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Bukhari)
“Sholat seseorang sempurna sebelum dia melakukan ruku’ dan sujud dengan meluruskan punggungnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu ‘Awwanah, Abu Dawud dan Sahmi dishahihkan oleh Ad-Daraquthni)
> Thuma-ninah/Bersikap Tenang
Beliau pernah melihat orang yang ruku’ dengan tidak
sempurna dan sujud seperti burung mematuk, lalu berkata: “Kalau orang
ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati diluar agama Muhammad
[sholatnya seperti gagak mematuk makanan] sebagaimana orang ruku’
tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang memakan
satu, dua biji kurma yang tidak mengenyangkan.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ya’la, Al-Ajiri, Al-Baihaqi,
Adh-Dhiya’ dan Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah)
> Memperlama Ruku’
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’,
berdiri setelah ruku’ dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir
sama lamanya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Yang Dibaca Ketika Ruku’
Do’a yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada beberapa
macam, semuanya pernah dibaca oleh beliau jadi kadang membaca ini
kadang yang lain.
1. SUBHAANA RABBIYAL ‘ADHZIM 3 kali atau lebih (Berdasar hadits yang
dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Yang artinya:
“Maha Suci Rabbku, lagi Maha Agung.”
2. SUBHAANA RABBIYAL ‘ADHZIMI WA BIHAMDIH 3 kali (Berdasar hadits
yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ad-Daroquthni dan
Al-Baihaqi).
Yang artinya:
“Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian bagi-Nya.”
3. SUBBUUHUN QUDDUUSUN RABBUL MALA-IKATI WAR RUUH (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
Yang artinya:
“Maha Suci, Maha Suci Rabb para malaikat dan ruh.”
4. SUBHAANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII
Yang artinya:
“Maha Suci Engkau ya, Allah, dan dengan memuji-Mu Ya, Allah ampunilah aku.”
Berdasarkan hadits dari ‘A-isyah, bahwasanya dia berkata:
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak
membaca Subhanakallahumma Wa Bihamdika Allahummaghfirlii dalam
ruku’nya dan sujudnya, beliau mentakwilkan Al-Qur-an.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim).
Do’a ini yang paling sering dibaca. Dikatakan bahwa ada riwayat dari
‘A-isyah yang menunjukkan bahwa Rasulullah sejak turunnya surat
An-Nashr -yang artinya: “Hendaklah engkau mengucapkan tasbih dengan
memuji Rabbmu dan memohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha
Penerima taubat.” (TQS. An-Nashr 110:3)-, waktu ruku’ dan sujud
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca do’a ini hingga
wafatnya.
5. Dan lain-lain sesuai dengan hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang Dilarang Ketika Ruku’
Larangan disini adalah larangan dari Rasulullah bahwa sewaktu ruku’ kita tidak boleh membaca Al-Qur-an. Berdasarkan hadits:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membaca Al-Qur-an dalam ruku’ dan sujud.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah)
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku’ dan sujud…”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
I’TIDAL DARI RUKU’
Cara i’tidal dari ruku’
Setelah ruku’ dengan sempurna dan selesai membaca do’a, maka kemudian
bangkit dari ruku’ (i’tidal). Waktu bangkit tersebut membaca
(SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) disertai dengan mengangkat kedua tangan
sebagaimana waktu takbiratul ihrom. Hal ini berdasarkan keterangan
beberapa hadits, diantaranya:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam
sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentag kedua pundaknya,
hal itu dilakukan ketika bertakbir mau rukuk dan ketika mengangkat
kepalanya (bangkit ) dari ruku’ sambil mengucapkan SAMI’ALLAAHU
LIMAN HAMIDAH…”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Malik).
Yang Dibaca Ketika I’tidal dari Ruku’
Seperti ditunjuk hadits di atas ketika bangkit (mengangkat kepala) dari ruku’ itu membaca:
(SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH)
Kemudian ketika sudah tegak dan selesai bacaan tersebut disahut dengan bacaan:
RABBANAA LAKAL HAMD (Rabbku, segala puji kepada-Mu)
atau
RABBANAA WA LAKAL HAMD (Rabbku dan segala puji kepada-Mu)
atau
ALLAAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku, segala puji kepada-Mu)
atau
ALLAAHUMMA RABBANAA WA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu)
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah:
“Apabila imam mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka
ucapkanlah oleh kalian ALLAHUMMA RABBANA WA LAKALHAMD, barangsiapa
yang ucapannya tadi bertepatan dengan ucapan para malaikat
diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Ztirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan Malik)
Kadang ditambah dengan bacaan:
MIL-ASSAMAAWAATI, WA MIL-ALARDHL, WA MIL-A MAA SYI-TA MIN SYAI-IN BA’D
(Mencakup seluruh langit dan seluruh bumi dan segenap yang Engkau kehendaki selain dari itu)
berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
Dan Do’a lain-lain
Cara I’tidal
Adapun dalam tata cara i’tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua
pendapat, pertama mengatakan sedekap dan yang kedua mengatakan tidak
bersedekap tapi melepaskannya. Tapi yang rajih menurut kami adalah
pendapat pertama. Bagi yang hendak mengerjakan pendapat yang pertama
tidak apa-apa dan bagi siapa yang mengerjakan sesuai dengan pendapat
kedua tidak mengapa.
Keterangan untuk pendapat pertama: Kembali meletakkan tangan kanan
diatas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika
telah berdiri.
Hal ini berdasarkan nash dibawah ini:
Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam An-Nasa-i yang artinya:
“Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: “Saya melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam sholat, beliau
memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
Berkata Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya: “Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik,
ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa’d ia berkata:
“Adalah orang-orang (para shahabat) diperintah (oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ) agar seseorang meletakkan tangan
kanannya atas lengan kirinya dalam sholat.” Komentar Abu Hazm:
“Saya tidak mengetahui perintah tersebut kecuali disandarkan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Komentar dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub
dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah ‘Alam Islamy, edisi
Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI): “Dari hadits shahih ini
ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri
ketika seorang Mushalli (orang yang sholat) tengah berdiri baik
sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa
para shahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan
kirinya dalam sholat. Dan sudah dimengerti bahwa Sunnah (Nabi)
menjelaskan orang sholat dalam ruku’ meletakkan kedua telapak
tangangnya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua
telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan keddua
bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud
begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan
lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian
Sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan
demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl
diatas adalah disyari’atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam sholat
agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik
berdiri sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh
karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan
dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: “asal dari ibadah adalah
haram kecuali ada penunjukannya” -per.)
Disamping itu ada pula ketetapan dari hadits Wa-il bin Hujr pada
riwayat An-Nasa-i dengan sanad yang shahih: Bahwasanya apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dalam sholat beliau
memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
Wallaahu a’lamu bishshawab.
Thuma-ninah dan Memperlama Dalam I’tidal
“Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri
dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata
tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri
i’tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai
ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, As-Syafi’i dan Ahmad)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri terkadang
dikomentari oleh shahabat: “Dia telah lupa” [karena saking lamanya
berdiri].
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
SUJUD
Sujud dilakukan setelah i’tidal thuma-ninah dan jawab tasmi’ (Rabbana Lakal Hamd…dst).
Caranya
Dengan tanpa atau kadang-kadang dengan mengangkat kedua tangan
(setentang pundak atau daun telinga) seraya bertakbir, badan turun
condong kedepan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua lutut
terlebih dahulu
baru kemudian meletakkan kedua tangan. (abu zalfa: Dalam hal ini ada perbedaan pendapat, Lihat
disini)
pada tempat kepala diletakkan dan kemudian meletakkan kepala
kepala dengan menyentuhkan/menekankan hidung dan jidat/kening/dahi ke
lantai (tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga).
Dari Wail bin Hujr, berkat, “Aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak sujud meletakkan kedua
lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit mengangkat dua
tangan sebelum kedua lututnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Daarimy)
“Terkadang beliau mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa’i dan Daraquthni)
“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan
tangannya [dan membentangkan] serta merapatkan jari-jarinya dan
menghadapkannya ke arah kiblat.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
“Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi)
“Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa’i)
Cara Sujud
> Bersujud pada 7 anggota badan,
yakni jidat/kening/dahi dan hidung (1), dua telapak tangan (3),
dua lutut (5) dan dua ujung kaki (7). Hal ini berdasar hadits:
Dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Aku diperintah untuk bersujud (dalam riwayat lain;
Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota badan;
yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua
telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak
boleh menyibak lengan baju dan rambut kepala.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Jama’ah)
> Dilakukan dengan menekan
“Apabila kamu sujud, sujudlah dengan menekan.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan telapak kaki ke tanah.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi)
> Kedua lengan/siku tidak ditempelkan pada lantai, tapi diangkat dan dijauhkan dari sisi rusuk/lambung.
Dari Abu Humaid As-Sa’diy, bahwasanya Nabi shalallau
‘alaihi wasallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di
tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi perutnya,
tangannya ditaruh sebanding dua bahu beliau.”
(Diriwayatkan oleh Al Imam At-Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau ‘alaihi wasallam bersabda:
“Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya.”
(Diriwayatkan oleh Al-Jama’ah kecuali Al Imam An-Nasa-i, lafadhz ini bagi Al Imam Al-Bukhari)
“Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan menjauhkannya dari
lambungnya sehingga warna putih ketiaknya terlihat dari belakang”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
> Menjauhkan perut/lambung dari kedua paha
Dari Abi Humaid tentang sifat sholat Rasulillah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila dia sujud, beliau
merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
> Merapatkan jari-jemari
Dari Wa-il, bahwasanya Nabi shalallau ‘alaihi wasallam jika sujud maka merapatkan jari-jemarinya.
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim)
> Menegakkan telapak kaki dan saling merapatkan/menempelkan antara dua tumit
Berkata ‘A-isyah isteri Nabi shalallau ‘alaihi wasallam:
“Aku kehilangan Rasulullah shalallau ‘alaihi wasallam padahal
beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah
sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan
ujung-ujung jarinya ke kiblat, aku dengar…”
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Ibnu Huzaimah)
> Thuma-ninah dan sujud dengan lama
Sebagaimana rukun sholat yang lain mesti dikerjakan dengan
thuma-ninah. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau
bersujud baiasanya lama.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’,
berdiri setelah ruku’ dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir
sama lamanya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Sujud Langsung Pada Tanah atau Boleh Di Atas Alas
“Para shahabat sholat berjama’ah bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada cuaca yang panas. Bila ada yang
tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka membentangkan
kainnya kemudian sujud di atasnya”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
Bacaan Sujud
Rasulullah membaca
SUBHAANA RABBIYAL A’LAA 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dll)
atau kadang-kadang membaca
SUBHAANA RABBIYAL A’LAA WA BIHAMDIH, 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dll)
atau
SUBHAANAKALLAAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAAHUMMAGHFIRLII
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Bacaan Yang Dilarang Selama Sujud
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku’ dan sujud…”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
BANGUN DARI SUJUD PERTAMA
Setelah sujud pertama -dimana dalam setiap roka’at ada dua sujud- maka
kemudian bangun untuk melakukan duduk diantara dua sujud. Dalam
bangun dari sujud ini disertai dengan takbir dan kadang mengangkat
tangan (Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim).
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
DUDUK ANTARA DUA SUJUD
Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada
roka’at pertama sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua
sujud, duduk iftirasy (duduk dengan meletakkan pantat pada telapak
kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan)
dan duduk iq’ak (duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk diatas tumit). Hal ini berdasar hadits:
Dari ‘A-isyah berkata: “Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menghamparkan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang
kanan, baliau melarang dari duduknya syaithan.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)
*Komentar Syaikh Al-Albani: duduknya syaithan adalah dua telapak
kaki ditegakkan kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut
dengan dua tangan menekan dilantai.
Dari Rifa’ah bin Rafi’ -dalam haditsnya- dan berkata
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila engkau sujud maka
tekankanlah dalam sujudmu lalu kalau bangun duduklah di atas pahamu
yang kiri.”
(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang duduk iq’ak, yakni [duduk dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya].
(Hadits dikeluarkan oleh Muslim)
Waktu duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan ditegakkan dan jarinya diarahkan ke kiblat:
Beliau menegakkan kaki kanannya (Al-Bukhari)
Menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat (An-Nasa-i)
Bacaannya
RABBIGHFIRLII, RABBIGHFIRLII
Dari Hudzaifah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkan dalam sujudnya (dengan do’a): Rabighfirlii,
Rabbighfirlii.
(Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan lafadhz Ibnu Majah)
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WA ‘AAFINII WAHDINII WARZUQNII
(Abu Dawud)
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARZUQNII WARFA’NII
(Ibnu Majah)
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAHDINII WARZUQNII
(At-Tirmidzi)
Thuma-ninah dan Lama
Lihat tata cara ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sholat.
MENUJU ROKA’AT BERIKUTNYA
Pada masalah ini ada dua tempat/kondisi, yaitu bangkit menuju roka’at
berikut dari posisi sujud kedua -pada akhir roka’at pertama dan
ketiga- dan bangkit dari posisi duduk tasyahhud awal -pada roka’at
kedua.> Bangkit/bangun dari sujud untuk berdiri (dari akhir roka’at
pertama dan ketiga) didahului dengan duduk istirahat atau tanpa duduk
istirahat, bangkit berdiri seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua
tangan. Ketika bangkit bisa dengan tangan bertumpu pada lantai atau
bisa juga bertumpu pada pahanya.
Tangan bertumpu pada satu pahanya
Dari Wail bin Hujr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ,berkata (Wa-il); “Maka tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersujud dia meletakkan kedua lututnya ke lantai sebelum
meletakkan kedua tangannya; Berkata (Wa-il): Bila sujud maka …..dan
apabila bangkit dia bangkit atas kedua lututnya dengan bertumpu
pada satu paha.”
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud)
Tangan bertumpu pada lantai (tempat sujud)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertumpu pada lantai ketika bangkit ke roka’at kedua.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
Diselai duduk istirahat
Dari Malik bin Huwairits bahwasanya di malihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat, maka bila pada roka’at yang
ganjil tidaklah beliau bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan
lurus.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
> Bangkit dari duduk tasyahhud awwal (dari roka’at kedua) dengan
mengangkat kedua tangan seraya bertakbir seperti pada takbiratul
ihram.
Mengangkat tangan ketika takbir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian berdiri
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Ya’la)
DUDUK TASYAHHUD AWWAL DAN TASYAHHUD AKHIR
Tasyahhud awwal dan duduknya merupakan kewajiban dalam sholat
Tempat dilakukannya
Duduk tasyahhud awwal terdapat hanya pada sholat yang jumlah roka’atnya
lebih dari dua (2), pada sholat wajib dilakukan pada roka’at yang
ke-2. Sedang duduk tasyahhud akhir dilakukan pada roka’at yang
terakhir. Masing-masing dilakukan setelah sujud yang kedua.
Cara duduk tasyahhud awwal dan tasyahhud akhir
Waktu tasyahhud awwal duduknya iftirasy (duduk diatas telapak kaki kiri)
sedang pada tasyahhud akhir duduknya tawaruk (duduk dengan kaki kiri dihamparkan kesamping kanan dan duduk diatas lantai),
pada masing-masing posisi kaki kanan ditegakkan.
Dari Abi Humaid As-Sa’idiy tentang sifat sholat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkat, “Maka apabila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dalam dua roka’at (-tasyahhud
awwal) beliau duduk diatas kaki kirinya dan bila duduk dalam
roka’at yang akhir (-tasyahhud akhir) beliau majukan kaki kirinya
dan duduk di tempat kedudukannya (lantai dll).”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Letak tangan ketika duduk
Untuk kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh di paha kanan
sambil berisyarat dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan
penglihatan ditujukan kepadanya, sedang tangan kirinya
ditaruh/terhampar di paha kiri.
Dari Ibnu ‘Umar berkata Rasulullahi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bila duduk didalam shalat meletakkan dua tangannya pada
dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdoa
dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri,
beliau hamparkan padanya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Nasa-i).
Berisyarat dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak
Selama melakukan duduk tasyahhud awwal maupun tasyahhud akhir,
berisyarat dengan telunjuk kanan, disunnahkan menggerak-gerakkannya.
Kadang pada suatu sholat digerakkan pada sholat lain boleh juga tidak
digerak-gerakkan.
“Kemudian beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya
yang kiri dan menaruh tangannya yang kiri atas pahanya dan lututnya
yang kiri dan ujung sikunya diatas paha kanannya, kemudian beliau
menggenggam jari-jarinya dan membuat satu lingkaran kemudian
mengangkat jari beliau maka aku lihat beliau menggerak-gerakkannya
berdo’a dengannya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa-i).
“Dari Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jarinya ketika
berdoa dan tidak menggerakannya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud).
Membaca do’a At-Tahiyyaat dan As-Sholawaat
Do’a tahiyyat ini ada beberapa versi, untuk hendaklah dipilih yang kuat
dan lafadhznya belum ditambah-tambah. Salah satu contoh riwayat yang
baik adalah sebagai berikut:
Berkata Abdullah : “Kami apabila shalat di belakang nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keselamatan atas jibril dan mikail
keselamatan atas si fulan dan si fulan maka rasulullah berpaling
kepada kami. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
sesungguhnya Allah itu As-salam maka apabila shalat hendaklah
kalian itu mengucapkan:
“AT-TAHIYYAATU LILLAHI WAS SHOLAWATU WAT THAYYIBAAT, AS-SALAMU’ALAIKA
AYYUHAN NABIY WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUHU, AS-SALAAMU ‘ALAINA WA
‘ALAA ‘IBAADILLAHIS SHALIHIN. ASYHADU ALLAA ILAHA ILLALLAH WA
ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUHU”
artinya: segala kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah,
semoga keselamatan terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat
Allah dan barakah-Nya. Kiranya keselamatan tetap atas kami dan atas
hamba-hamba Allah yang shalih; -karena sesungguhnya apabila kalian
mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang shalih di langit
dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq
selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan
utusan-Nya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari).
Dari Ka’ab bin Ujrah berkata : “Maukah aku hadiahkan kepadamu sesuatu
? Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada
kami, maka kami berkata : ‘Ya Rasulullah kami sudah tahu bagaimana
cara mengucapkan salam kepadamu, lantas bagaimana kami harus
bershalawat kepadamu? Beliau berkata : ucapkanlah:
“ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA
SHALLAITA ‘ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ALLAAHUMMA
BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BARAKTA ‘ALAA
AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.”
artinya: “Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada
keluarga Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.
Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji dan Maha Agung.”
Berdo’a berlindung dari empat (4) hal.
Hal ini dilakukan pada duduk tasyahhud akhir saja.
…..Apabila kamu telah selesai bertasyahhud akhir maka…
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Agar tidak menyalahi riwayat -hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam- ini maka dalam tasyahhud awwal bacaannya berhenti sampai
membaca sholawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang
ta’awudz (berlindung dari 4 hal) ini dibaca hanya ketika tasyahhud
akhir.
Dari Abu Hurairah berkata; berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Apabila kamu telah selesai bertasyahhud maka
hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, dia berkata:
“ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ‘ADZAABIL
QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN FITNATIL MASIIHID
DAJJAAL.”
artinya: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam,
siksa kubur, fitnahnya hidup dan mati serta fitnahnya Al-Masiihid
Dajjaal.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
Berdo’a dengan do’a/permohonan lainnya
…kemudian (supaya) dia memilih do’a yang dia kagumi/senangi…
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Al-Bukhari)
SALAM
Salam sebagai tanda berakhirnya gerakan sholat, dilakukan dalam posisi
duduk tasyahhud akhir setelah membaca do’a minta perlindungan dari 4
fitnah atau tambahan do’a lainnya.
“Kunci sholat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya (yaitu sholat) adalah mengucapkan salam.”
(Hadits dikeluarkan dan disahkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
Caranya
Dengan menolehkan wajah ke kanan seraya mengucapkan do’a salam kemudian ke kiri.
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari bapaknya berkata: Saya
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi salam ke sebelah
kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim dan An-Nasa-i serta ibnu Majah)
Dari ‘Alqomah bin Wa-il, dari bapaknya, ia berkata: Aku sholat
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau membaca
salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): “As Salamu’alaikum Wa
Rahmatullahi Wa Barakatuh.” Dan kesebelah kiri: “As Salamu’alaikum
Wa Rahmatullahi.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Macam-macam Bacaan Salam
Kadang-kadang beliau membaca:
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh
atau
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
atau
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
atau
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi— As Salamu’alaikum
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan An-Nasa-i)
atau
As Salamu’alaikum dengan sedikit menoleh ke kanan tanpa menoleh ke kiri
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)
Gerak yang dilarang
Sering terlihat orang yang mengucapkan salam ketika menoleh ke-kanan
dibarengai dengan gerakan telapak tangan dibuka kemudian ketika
menoleh ke kiri tangan kirinya di buka. Gerakan tangan ini dilarang
oleh shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan
ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang buas? Bila
seseorang diantara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling
kepada temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya.” [Ketika
mereka sholat lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya
lagi]. (Pada riwayat lain disebutkan: “Seseorang diantara kamu
cukup meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian ia mengucapkan
salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan
saudaranya di sebelah kiri).
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah dan At-Thabrani).
Diantara gerakkan bid’ah yang dilakukan saat salam adalah gerakkan
yang dilakukan oleh orang syi’ah dengan menepukkan kedua tangannya di
atas paha tiga kali, sebagai pengganti salam dengan menoleh ke kanan dan
ke kiri. Hal seperti ini dilakukan oleh syi’ah Iran dan sekitarnya.
Maksud dari gerakan itu adalah melaknat malaikat Jibril karena mereka
mengatakan Jibril telah salah menyampaikan wahyu.