Firman Allah Ta’ala :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya
: “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
[Ar-Rum 21].
Aku berkata : Dalam ayat ini terangkum pengertian cinta.
Pertama, Sakinah
Yaitu perasaan nyaman, cenderung, tentram atau tenang kepada yang dicintai,
…لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Artinya : … supaya kamu merasa nyaman kepadanya.
Seperti
orang yang penat dengan kesibukan dan kebisingan siang lalu menemukan
kenyamanan dan ketenangan dalam kegelapan malam. Surat Yunus ayat 67 :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
Artinya
: “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat
padanya (litaskunu fihi) dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya
kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar”.
Semisal itu dalam surat Al-Qashshah ayat 72.
Kedua, Mawadah
Dalam ayat :
…وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً…
Artinya : “…dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah…”.
Mawadah adalah perasaan ingin bersatu atau bersama.
Imam As-Sayuthi رحمه الله
(w. 911 H) dalam Tafsir Dur Mantsur (11/595) dari riwayat Ibn
Al-Mundzir dan Ibn Abi Hatim, dari Al-Hasan rahimahullahu tentang firman
Allah : “.. dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah”, beliau berkata,
“al-jima”. Demikian pula menurut Mujahid dan Ikrimah, sebagaimana
dituliskan Imam Ibn Hayan Al-Andalusi رحمه الله (w. 745 H) dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhyith (9/77) dan lainnya.
Aku
katakan : Dalam jima (persetubuhan) memang secara lahir bisa terwujud
kebersamaan, dengan suatu perjanjian yang terkuat yaitu nikah (Qs.
an-Nisaa' 21). Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda:
لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
Artinya
: “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah/lebih baik oleh)
orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan”.
Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan Syaikh Al-Albani رحمه الله dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (no. 624), dengan dua jalan, dari :
Pertama,
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, oleh Ibnu Majah (1/593) no. 1847, berkata
Al-Bushairi dalam az-Zawaid (1/323), “Ini isnadnya shahih, rijalnya
tsiqah”, Thabrani dalam Al-Kabir (11/17) no. 10895, (11/50) no. 11009,
Al-‘Aqili dalam Adh-Dhu’afa (4/134) no. 1692, Tamam dalam Al-Fawaid
(2/366-367 –Raudhul Basam) no. 732, 733, 734, dan Baihaqi (7/78) no.
13230 dengan sedikit perbedaan lafazh, dishahihkan dengan syarat Muslim
oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/174) no. 2677, dan disetujui
Adz-Dzahabi.
Kedua,
dikeluarkan dari Thawus secara mursal, oleh Sa’id ibn Manshur dalam
Sunan (no. 492), Baihaqi (7/78) no. 13230, Abu Ya’la dalam Musnad
(5/132) no. 2747, Al-‘Aqili dalam Adh-Dhu’afa (4/134) no. 1692,
Abdurrazaq (6/151) no. 10319, (6/168) no. 10377 dan Ibn Abi Syaibah
(6/5) no. 16147 atau (3/271/12).
Al-Qur’an juga menegaskan hubungan antara mawadah dan keinginan bersama,
وَلَئِنْ
أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ لَيَقُولَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ
فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya
: “Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah,
tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada mawadah antara kamu
dengan dia: "Wahai, kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya
mendapat kemenangan yang besar (pula)" [An-Nissa 73].
Lihat pula dalam surat Al-Ma’idah ayat 82-83, tentang doa orang-orang yang memiliki mawadah:
رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Artinya
: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama
orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian
Muhammad shallallahu’alaihi wasalam )”.
Ketiga, al-mahabah (المحبة)
Al-Hafizh Ibn Katsir رحمه الله
(w. 774 H) dalam Tafsirnya (6/309) tentang ayat, “…dan dijadikan-Nya di
antaramu mawadah…”. Beliau berkata, “(yaitu) al-mahabah”. Seperti itu
yang dikutip Imam Al-Qurthubi رحمه الله (w. 671 H) dalam Tafsir (14/17), dari perkataan Ibn Abbas radhiyallahu’anhu.
Ada
yang mengartikan al-mahabah, sebagai perasaan yang membuat buta untuk
selain dia dan tuli bagi selain dia. Seperti dalam satu hadits :
حُبُّكَ الشَّىْءَ يُعْمِى وَيُصِمُّ
Artinya : ‘Kecintaanmu kepada sesuatu membuat buta dan tuli’.
Hadits
ini sebenarnya diperselisihkan keshahihannya secara marfu, dikeluarkan
dari jalan Abu Darda radhiyallahu’anhu oleh Ahmad (5/194) no. 21740,
dalam ta’liqnya Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih mauquf, dan
ini isnadnya dha’if, kelemahannya ada pada Abu Bakar ibn Abi Maryam”. Dikeluarkan
pula oleh Ahmad pada tempat lain (6/450). Thabrani dalam Al-Ausath
(4/334) no. 4359, Ad-Daulabi dalam Al-Kuna wal Asma’ (1/192) no. 656,
Abu Dawud (4/334) no. 5130 dan beliau tidak mengomentarinya, Baihaqi
dalam Syu’ibul Iman (1/368) no. 411, Abd ibn Hamid dalam Musnad h. 99
no. 205, dan Bukhari dalam Tarikh Al-Kabir (3/171) biografi Khalid ibn
Muhammad no. 584. Memang Ibnu Atsakir dalam Tarikh (13/316) no. 1394
telah mengeluarkannya dari jalan lain, tetapi didalamnya banyak perawi
majhul.
Mengenai cinta ‘yang membuat buta dan tuli’ akan dibahas pada bab yang lain, insya Allah.
Keempat, rahmah
Dalam ayat diatas :
…وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
Artinya : “… dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah”.
Rahmah
adalah kasih sayang dan kelembutan, timbul terutama karena ada ikatan.
Seperti cinta antar orang yang bertalian darah, cinta orang tua terhadap
anaknya, atau sebaliknya. Sebagaimana tafsir yang disebutkan Imam
As-Sayuthi رحمه الله
(w. 911 H) dalam Tafsir Dur Mantsur (11/595), riwayat Ibn Al-Mundzir
dan Ibn Abi Hatim, dari Al-Hasan rahimahullau tentang firman Allah : “…
dan rahmah”, Al-Hasan berkata, “al-walad (anak)”. Demikian pula menurut
Mujahid dan Ikrimah, sebagaimana dituliskan Imam Ibn Hayan Al-Andalusi رحمه الله (w. 745 H) dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhyith (9/77) dan lainnya.
Al-Qur'an menyebut hubungan darah ini al-arham,
وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya
: Orang-orang yang mempunyai al-arham (hubungan) itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sebagiannya dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu [Al-Anfal 75].
Kata
silaturrahim juga berasal dari pecahan kata ini, artinya menyebarkan
kebaikan yang benangnya adalah rahim ibu. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasalam menyebutkan hubungan antara silaturahim dengan mahabah, lewat
sabdanya :
تَعَلَّمُوا
مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ
الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي
الْأَثَرِ
Artinya
: “Pelajarilah nasab kalian agar dapat menyambung saudara-saudara
kalian. Sebab silaturahim adalah (sebab adanya) kecintaan (mahabah)
dalam keluarga, melancarkan harta dan bertambahnya umur”.
Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan Syaikh Al-Albani رحمه الله dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (no. 276), ada dua jalan :
Pertama,
dari Abu Hurairah radhyiallahu’anhu oleh Ahmad (2/374) no. 8855,
Tirmidzi (4/351) no. 1979, beliau berkata, “Gharib”, Al-Hakim (4/178)
no. 7284, beliau menshahihkan isnadnya dan disepakati adz-Dzahabi, dan
As-Sam’ani mengeluarkannya dalam Al-Anshab (1/5).
Kedua, dari Al’Ala ibn Kharazah oleh Thabrani (18/98) no. 176, sebagaimana disebutkan Al-Haitsami dalam Al-Majma (8/152).
Kelima, ar-ra’fah (الرأفة)
Al-Hafizh Ibn Katsir رحمه الله
(w. 774 H) dalam Tafsirnya (6/309) berkata, “… menjadikan diantara
keduanya (suami dan istri) mawadah yaitu al-mahabah, dan rahmah yaitu
ar-ra’fah ”.
ar-ra’fah
adalah perasaan yang bisa mengalahkan norma-norma kebenaran.
Sebagaimana diingatkan oleh Allah Ta’ala tentang hukuman bagi pezina:
…وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“…
dan janganlah ra’fah kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat [an-nur
2].
Keenam, asy-syafaqah (الشفقة)
Imam Al-Mawardi رحمه الله
(w. 450 H) dalam Tafsir (3/315), berkata: “Sesungguhnya al-mawadah
(adalah) al-mahabah, dan ar-rahmah (adalah) asy-syafaqah, berkata
seperti itu As-Sa’di”.
Asy-syafaqah
adalah rasa kasih sayang dan belas kasihan yang timbul karena keadaan
orang lain, atau karena ada kesamaan keadaan yang ia temukan pada orang
lain. Sebagaimana Imam Tirmidzi رحمه الله dalam Sunan (4/325) berkata:
باب ما جاء في شفقة المسلم على المسلم
Artinya : ‘Bab apa-apa yang datang dalam syafaqah (kasih sayang) antara muslim dengan muslim”,
Lalu
beliau menyebut 3 hadits, diantaranya (no. 1927) “Muslim itu saudaranya
muslim yang lain…”, dan hadits (1928), “Muslim itu seperti sebuah
bangunan…”.
Kaum
muslim saling mencintai sebab adanya kesamaan aqidah, mereka membangun
wala (loyalitas) dan bara’ (permusuhan) berdasarkan itu.
Ketujuh, ayat-ayat Allah
Maksudnya cinta adalah sebagian dari ayat-ayat Allah,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “… Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat ayat-ayat bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].
Al-Hafizh Ibn Qayyim رحمه الله
(w. 751 H) telah merangkum istilah-istilah cinta yang banyak macamnya
dalam kitab Raudhah Al Muhibbin wa Nuhzah Al Musytaqin bagi yang ingin
meluaskan pembahasan.
Maraji Tafsir Surat Rum ayat 21 :
1. Imam Ibn Jarir رحمه الله (w. 310 H) dalam Tafsir Jami Al-Bayan (20/86),
2. Imam Al-Mawardi رحمه الله (w. 450 H) dalam Tafsir (3/315),
3. Al-Hafizh Ibn Jauzi رحمه الله (w. 597 H) dalam Tafsir Zadul Masir (5/94),
4. Imam Al-Qurthubi رحمه الله (w. 671 H) dalam Tafsir (14/17),
5. Imam Ibn Hayan Al-Andalusi رحمه الله (w. 745 H) dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhyith (9/77),
6. Al-Hafizh Ibn Katsir رحمه الله (w. 774 H) dalam Tafsir (6/309),
7. Imam As-Sayuthi رحمه الله (w. 911 H) dalam Tafsir Dur Mantsur (11/595),
8. Imam As-Syaukani رحمه الله (w. 1250 H) dalam Tafsir Fathul Qadir (5/464),
9. Imam Al-Alusy رحمه الله (w. 1270 H) dalam Ruhul Ma’ani (15/348).