Surah ini
berkaitan erat dengan surah sebelumnya, dan sebagian mufasir menganggapnya
sebagai sambungan langsung dari Surah al-Dhuha. Bagaimana pun juga,
surah ini ditujukan kepada Nabi dan diperluas kepada semua orang yang mengikuti
jejak langkah Nabi.
Syaraha berarti 'membukakan, menyingkapkan, menjelaskan, menerangkan atau
menampakkan,' dan 'melapangkan'. Syaraha juga berarti 'memotong'. Dalam
dunia bedah, kata tasyrih berarti pemotongan.
Shadara berarti 'kembali dari pengairan, melanjutkan, memancar, keluar', dan shadr
adalah 'dada, payudara atau peti'. Jika seseorang mengatakan ia ingin
'mengambil sesuatu dari dadanya', maka sesuatu ini, tentu saja, bukan obyek
fisik. Melainkan, sesuatu yang sudah ia kenakan sendiri pada dirinya, sehingga
ia merasa terhimpit atau terbebani, seolah-olah ia tidak bisa lagi bernapas
dengan bebas. Dengan melepaskan diri dari beban ini, dengan 'melapangkan' diri,
maka yang jauh menjadi dekat dan yang sulit menjadi mudah.
Syarh (uraian terperinci, penjelasan) yang utama adalah
berupa pengetahuan, penyaksian langsung bahwa yang ada hanyalah Allah. Itulah syarh
yang terakhir; tidak ada apa-apa di luar itu. Tidak ada kelegaan di luar
penyaksian langsung.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi, namun ia berlaku kepada semua
orang. Beban kebodohan digantikan dengan beban kenabian, tapi beban tersebut
menjadi ringan karena berbagai rahasia alam semesta telah diungkapkan
kepadanya.
Wazara, akar dari wizr (beban, muatan berat), adalah 'memikul atau
menanggung (suatu beban)'. Dari kata tersebut muncul kata wazir artinya
'menteri, wakil, konselor', yakni, seseorang yang membantu penguasa atau raja
untuk memikul beban negara. Maksud ayat ini adalah bahwa kita dibebaskan dari
tanggung jawab apa pun selain daripada sebagai hamba Pencipta kita. Jika kita
sungguh-sungguh memahami penghambaan, maka kita tidak lagi terbebani seperti
sebelumnya tapi kita malah hanya melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban
kepada Allah, tanpa menambah beban lagi kepada diri kita.
Lagi-lagi ini merupakan penjelasan metaforis. Ada di antara kita yang
nampaknya memikul beban berat, meskipun, sebenarnya, tidak ada beban yang
bersifat permanen. Jika kita selalu ingat akan Allah (zikrullah), sadar bahwa
pada suatu saat napas kita bisa berhenti, dan bahwa kita akan segera kembali
menjadi debu, maka kita pun akan sadar bahwa yang dapat kita lakukan saat ini
hanyalah menghamba dan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Tidak ada yang harus
kita lakukan selain dari itu. Secara tidak sengaja mungkin kita telah
mengundang kesulitan di dunia ini, namun kesulitan dunia ini tetap akan datang
dan menemukan kita. Jika kita tidak memperdulikan orang fi sabilillah
(di jalan Allah), jika kita tidak membantu orang, melayani dan membimbing
mereka, maka berbagai kesulitan akan menimpa kita.
Ini berkenaan dengan zikir lahiriah Nabi. Kita tidak bisa melakukan
zikir lahiriah yang lebih tinggi dari Nama Allah. Zikir batiniah Nabi merupakan
kesadaran beliau yang tak henti-henti, berkesinambungan, dan tidak terputus
terhadap Penciptanya. Zikir Nabi terhadap Penciptanya memiliki kedudukan paling
tinggi karena di antara ciptaan Allah beliaulah yang paling dekat kepada-Nya.
Ketika Nabi berzikir, zikimya diangkat lebih tinggi sehingga zikir
Nabi berada di urutan paling tinggi; kehidupannya sendiri merupakan zikrullah.
Dua ayat ini memberikan penjelasan khusus mengenai 'sang' kesulitan,
yakni 'bersama kesulitan ada kemudahan', yang menunjukkan bahwa hanya ada satu
kesulitan. Ini berarti bahwa pada setiap kesulitan ada dua kemudahan atau
solusi. Solusi pertama adalah bahwa kesulitan akan berlalu: ia tidak bisa
berlalu dengan sendirinya, tapi akhirnya ia akan berlalu karena lambat laun
kita pergi darinya melalui kematian. Solusi kedua adalah bagi pencari sejati; solusinya
terletak dalam pengetahuan tentang proses awal terjadinya kesulitan kemudian
melihat kesempumaan di dalamnya.
Umpamanya,
seseorang bisa saja melakukan kesalahan dengan memasuki areal proyek
pembangunan yang berbahaya sehingga kepalanya tertimpa sesuatu. Ia mungkin saja
tidak menyadari berbagai faktor yang terkait dengan kecelakaannya, apakah orang
lain bermaksud mencelakakannya atau tidak, tapi yang jelas ia akan mengalami musibah
itu. Begitu ia mengetahui bagaimana musibah itu terjadi, betapa sempurna
kejadiannya! Kepalanya akan terluka, tapi itu pun akan sembuh: itu adalah
kemudahan lain. Bersamaan dengan sulitnya merasakan pemisahan muncul
pertolongan untuk mengetahui bahwa kita berhubungan.
Makna syari’
(lahiriah) dari ayat ini adalah bahwa begitu kita selesai berurusan dengan
dunia dan dengan segala tanggung jawab kita di dalamnya, hendaknya kita
bersiap-siap untuk mencari pengetahuan langsung tentang Realitas Ilahi. Menurut
penafsiran golongan ahl al-Bayt tentang ayat ini, bila kita selesai
menunaikan salat-salat formal kita, maka hendaknya kita melanjutkan ke tahap
berikutnya, yakni begadang sepanjang malam melaksanakan salat lagi, zikir dan
belajar. Bila kita sudah menyelesaikan segala kewajiban kita terhadap penciptaan
dan terhadap Pencipta kita, maka hendaknya kita berbuat lebih, dan mencurahkan
diri kita sepenuhnya. Perjuangan dan upaya batin ini adalah makna harfiah dari
kata jihad, yang hanya dalam peristiwa tertentu saja menjadi 'perang
suci'.
Ketika kita mempraktikkan hasrat keingintahuan kita, bila kita
menginginkan pengetahuan, maka kita akan menjadi pengetahuan, persis
sebagaimana kita mempraktikkan kemarahan, maka kita pun akan menjadi kemarahan.
Begitu kita meletakkan dasar-dasar yang perlu untuk menunaikan segala kewajiban
kita, maka kita pun sah untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan
kita. Bagaimana pun, menunaikan kewajiban kita terlebih dahulu adalah penting,
karena, kalau tidak kita akan melaksanakan keinginan untuk melarikan diri.[]