Penulis : Teguh
Di sebuah hutan yang bernama Alas Selo tinggallah seorang bapak tua dan anaknya yang bernama Andarwoto. Mereka berdua tinggal sendirian di hutan yang terletak di lereng gunung dan dipenuhi dengan batu-batu besar nan kuat. Dalam kesehariannya, ayah Andarwoto membuat patung dengan cara memahat batu-batu besar yang banyak terdapat di hutan tersebut dan lantas menjualnya ke prajurit atau punggawa kerajaan yang kadangkala melintasi hutan Alas Selo.Seiring berjalannya waktu, Andarwoto mulai beranjak dewasa dan belajar memahat batu untuk dibuat patung mengikuti jejak sang ayah. Kian lama, Andarwoto kian mahir dan mulai menggantikan tugas ayahnya yang kian lemah termakan usia. Hingga pada suatu saat, ayah Andarwoto meninggal dan kini Andarwoto tinggal sendirian di hutan tersebut.
Pada suatu waktu, ketika Andarwoto hendak mulai memahat satu batu yang paling besar di hutan tersebut tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara aneh.
“Jangan…jangan…, janganlah kau pahat aku….”
“Hah…! Siapa kau, dimana kau sembunyi!” Teriak Andarwoto terkejut.
“Aku…aku ada di depanmu. Aku adalah batu yang hendak kau pahat.”
Setengah tidak percaya Andarwoto lantas mengelilingi batu besar tersebut dan tidak menemukan seseorang pun di balik batu besar tersebut.
“Ke..ke..kenapa kau bisa bicara padaku hai batu” setengah ketakutan Andarwoto mencoba bertanya.
“Aku tidak bisa menceritakannya sekarang anak muda” timpal si batu.
“Kenapa tidak? Cepat katakan saja, kalau tidak aku akan memahatmu” penasaran Andarwoto mulai mengancam.
“Percayalah padaku anak muda. Toh, bila engkau tidak memahatku maka mulai sekarang engkau mempunyai teman bicara di hutan ini. Bukankah masih banyak batu di hutan ini untuk kau pahat?” Suara si batu. Andarwoto diam sejenak. Di dalam hatinya, ia membenarkan apa yang dikatakan oleh si batu.
“Entahlah, aku masih ragu. Kita lihat saja nanti” dalam kebingungan Andarwoto meninggalkan batu yang bisa bicara tersebut dan pulang ke gubuknya.
Hari-hari berikutnya, Andarwoto mulai terbiasa dengan keberadaan si batu ajaib yang bisa bicara tersebut. Sambil memahat batu-batu besar yang ada, bahkan kini Andarwoto tak lagi merasa sendiri karena telah memiliki teman bicara. Sering kali si batu ajaib memberi petunjuk ke Andarwoto bagaimana memilih batu yang bagus untuk dipahat. Perlahan, Andarwoto mulai menganggap si batu ajaib tersebut sebagai sahabatnya, sesuatu yang tak pernah ia punya selain ayahnya dulu.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Pada tahun ke duabelas, hampir semua batu besar telah dipahat menjadi patung dan dijual oleh Andarwoto. Kini hanya tersisa 2 batu besar di hutan Alas Selo. Batu pertama adalah si batu ajaib sahabatnya, sementara batu yang kedua tak jauh dari situ adalah batu yang siap untuk dipahatnya.
“Sekarang hanya tersisa satu batu untuk kupahat, entah nanti setelah itu aku harus bagaimana” keluh Andarwoto ke si batu ajaib.
“Sahabatku, sabarlah..selalu ada jalan keluar” si batu ajaib menenangkan Andarwoto.
Setelah sekian hari mengerjakan pahatan di batu terakhir akhirnya patung telah selesai dibuat. Seperti sebelum-sebelumnya, tak jelang berapa hari kemudian lewatlah rombongan prajurit dari istana kerajaan.
“Sepertinya ini patung terakhir buatan hamba Tuan”, ujar Andarwoto kepada beberapa prajurit.
“Hmmm…sebetulnya engkau adalah pematung yang sangat bagus”, kata salah satu punggawa prajurit ke Andarwoto.
“Terima kasih tuanku, hamba hanya melakukan apa yang hamba cintai sejak kecil”.
Salah satu punggawa prajurit lantas terilihat bergerak mendekati batu ajaib. Cukup lama prajurit tersebut mengamati si batu ajaib. Tak lama kemudian punggawa prajurit kerajaan tersebut kembali dan mendekati Andarwoto.
“Aku melihat tersisa satu batu lagi dan batu itu cukup bagus. Bagaimana bila engkau membuatkan aku patung dari batu tersebut. Aku mau membayarnya seharga 10 kali lipat dari yang biasa kita beri. Bagaimana ?” Kata punggawa prajurit tersebut.
Andarwoto terkejut mendapatkan penawaran yang tak disangka-sangka tersebut. Andarwoto terdiam dalam bimbang. Tak mungkin ia memahat batu yang telah sekian tahun menemaninya bicara di hutan ini. Namun disatu sisi penawaran prajurit tersebut sangat menggiurkannya.
Lama berpikir membuat punggawa prajurit tersebut tidak sabar dan berkata, “Entah apa yang ada dibenakmu. Itu hanyalah sebuah batu, kenapa sepertinya engkau berat untuk memahatnya. Sudahlah pikirkanlah dulu, esok-esok aku masih akan sering lewat sini, bila engkau mau membuatkan patungnya tinggal bicaralah padaku.” Tak lama kemudian rombongan prajurit itu meninggalkan Andarwoto yang terdiam mematung.
Tak lama kemudian si batu ajaib bersuara memecah keheningan, “Aku mendengar ucapan mereka.”
“Eh..eh… benarkah?” Gelagapan Andarwoto mendengar suara si batu ajaib.
“Iya aku mendengarnya, dan aku tahu pasti engkau sedang dilanda kebimbangan” suara si batu ajaib.
Andarwoto hanya terdiam dan menundukkan kepalanya. “Maafkan aku, aku tak bisa menjawabnya. Aku mau pulang dulu” dalam kebingungan Andarwoto memilih untuk pulang ke gubuknya dan menghindari si batu ajaib.
Hari demi hari berlalu, Andarwoto belum pernah kembali menemui si batu ajaib. Hingga suatu ketika ia mengenang kembali saat-saat ia pertama kali berbincang dengan si batu ajaib. Kenangan-kenangan bersama si batu ajaib kini menghinggapi seluruh pikirannya. Tak terasa butir air mata menetes di pipinya. Andarwoto sadar bahwa ia tak akan rela untuk memahat batu yang telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun tersebut.
“Baiklah, aku sudah memutuskan” ucap Andarwoto dalam hati. Segera saat itu juga ia berjalan keluar dari gubuknya dan menuju ke tempat si batu ajaib.
“Hmmm.. akhirnya engkau datang menemuiku kembali” suara si batu ajaib menyambut Andarwoto.
“Maafkan aku hai batu ajaib. Engkau adalah sahabatku, aku tak akan bisa untuk memahatmu untuk menjadikan sebuah patung” ucap Andarwoto.
“Andarwoto, aku senang sekali mendengarnya” suara si batu ajaib.
Hari-hari berikutnya Andarwoto menemui si batu ajaib setiap hari walau hanya sebagai teman bicara. Selama itu pula, punggawa prajurit kerajaan yang memesan patung dari si batu ajaib itu sering kali datang dan terus meminta Andarwoto untuk membuatkannya patung dengan imbalan yang semakin besar. Namun demikian, Andarwoto selalu menolaknya dengan halus. Hingga suatu hari, punggawa prajurit itu datang lagi untuk kesepuluh kalinya menemui Andarwoto.
“Bagaimana kisanak, bersediakah engkau membuatkan aku patung dari batu disampingmu itu? Kali ini aku akan membayarnya 20 kali lipat dari biasanya” pinta dan rayu punggawa prajurit ke Andarwoto.
“Ampun tuanku punggawa, Hamba telah memutuskan untuk tidak memahat batu ini”, jawab Andarwoto.
Seketika itu tiba-tiba terdengar suara bergemuruh kencang diiringi dengan getaran yang amat dahsyat. Andarwoto terkejut dan bingung. Dari jauh dilihatnya telah terjadi longsor yang amat dahsyat dari puncak gunung dan mengarah ke arahnya.
Ditengah kebingungannya tiba-tiba terdengar suara si batu ajaib, “Andarwoto, lekaslah berlindung di balikku. Engkau bisa meringkuk dirimu di cekungan kecil yang ada di bagian tubuhku”.
Andarwoto menuruti suara si batu ajaib. Tak lama kemudian hujan abu dan bebatuan menggelinding di samping-samping tubuhnya. Andarwoto sangat ketakutan hingga akhirnya tak sadarkan diri. Lama berselang hingga beberapa jam kemudian Andarwoto siuman dari pingsannya.
“Aarghh!.. apa yang terjadi?” Rintih Andarwoto sambil membuka kelopak matanya secara perlahan. Dilihatnya suasana disekitarnya berada hingga tiba-tiba ia terkejut saat melihat seorang wanita cantik berdiri dikelilingi oleh emas dengan jumlah yang cukup banyak.
“Si..si..siapa engkau hai wanita?” Tanya Andarwoto.
Wanita tersebut tersenyum lantas menjawab, “Aku adalah si batu ajaib yang selama ini berbicara denganmu”.
Andarwoto terkejut, “bagaimana mungkin?”
“Aku tidak berbohong Andarwoto” ujar wanita cantik tersebut. “Namaku adalah Dewi Selo. Aku dulu dikutuk menjadi batu oleh raksasa yang ingin menikahiku sebelum akhirnya raksasa tersebut dibunuh oleh pamanku yang tak lain tak bukan adalah punggawa kerajaan yang terus memintamu untuk memahatku. Namun demikian untuk kembali menjadi manusia syaratnya aku harus bisa menemukan seseorang yang sangat dipercaya, setia dan tahan terhadap godaan. Itulah kenapa pamanku terus mendatangimu dan merayumu untuk membuat patung dariku. Namun ternyata engkau sangatlah setia dan tahan terhadap godaan sehingga aku akhirnya terbebas dari kutukan tersebut” jelas wanita cantik tersebut secara panjang lebar.
“Lantas, kenapa disekelilingmu banyak sekali emas?”, tanya Andarwoto masih penasaran.
“Emas-emas ini dulu berasal dari serpihan-serpihan batu sisa pahatanmu. Dia akan berubah menjadi emas bila aku telah terbebas dari kutukan. Emas-emas ini adalah hasil jerih payahmu Andarwoto”, jelas Dewi Selo.
Demikianlah, akhirnya Andarwoto dan Dewi Selo menikah dan tetap tinggal di hutan Alas Selo. Mereka berdua hidup bahagia dan tetap sederhana walau memiliki banyak emas.
***O***