Penulis: Arrayanov | Editor: Dian
Raja yang amat sakti di seluruh daratan Sunda, bijaksana, dan dicintai seluruh rakyatnya, adalah Sri Baduga Maharaja, Pemimpin gagah perkasa yang senantiasa melindungi rakyatnya, mencintai alam, dan taat pada peraturan alam. Hingga kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan yang “Gemah Ripah Repeh Rapih”, “Gemah Ripah Lohjinawi”
Baginda Prabu memiliki putra mahkota yang sama gagahnya dan sama saktinya, bernama Kian Santang. Namun, sang Putra Mahkota lebih suka menantang kesaktian orang lain. Kegemarannya bertarung, mengadu kehebatan, dan ilmu yang sangat tinggi.
Saat tak ada seorang lawan pun yang sanggup berhadapan dengannya lagi, maka datanglah sang putra mahkota menghadap Sri Baginda.
“Baginda, sampai saat ini tak ada lagi seorang lawan pun yang bisa menandingi ilmuku. Maksud Ananda menghadap, untuk menyampaikan sebuah tantangan. Sudah sepantasnya sekarang aku, putra mahkotamu, menantang laga, mengadu kesaktian karena tidak boleh ada dua orang yang kesaktiannya sama di atas muka bumi ini,” begitu isi tantangan putra mahkota terhadap ayahanda Prabu.
Dan Baginda Prabu menjawab, “Ananda, sebagai seorang ksatria, Ayahanda terima tantanganmu. Namun, alangkah baiknya bila kau menyempurnakan ilmumu terlebih dahulu. Pergilah ke sebuah negeri yang sebagian besar tanahnya terdiri dari gurun pasir. Temukanlah ilmu kesaktian di sana. Bila sudah kau dapatkan, segeralah kembali ke istana. Ayahanda akan menunggumu.”
Demi mendengar syarat dan sekaligus perintah ayahanda, maka Kian Santang segera mampersiapkan diri untuk berangkat ke sebuah negeri seperti yang diperintahkan ayahandanya.
“Ayahanda Prabu, telah kusempurnakan ilmu, kini saatnya ayahanda menjawab tantangan ananda. Ananda akan datang di ujung bulan purnama ini.”
Mendengar maklumat yang dibacakan tersebut, pandangan Baginda Prabu menerawang jauh. Dulu alasan beliau meminta ananda Kian Santang mencari ilmu, untuk menambah wawasan agar dia menjadi orang yang bijaksana, Prabu sangat faham dengan sifat sombong putra mahkotanya, ternyata syarat yang telah diberikannya malah berbalik menjadi sebuah ancaman. Baginda Prabu bukannya gentar untuk bertarung. Namun, untuk melawan putranya sendiri? Bagaimana bila salah satu harus terbunuh? Bagaimana bila dirinya yang terbunuh lalu rakyat marah? Atau bila putranya yang terbunuh? Begitu risau hati Baginda Prabu memikirkan maklumat yang disampaikan putranya tersebut.
Bulan purnama sebagai waktu yang ditentukan putranya tinggal 7 hari lagi, segera dikumpulkannya para petinggi kerajaan. Malam ini juga harus sudah terpecahkan jalan keluarnya. Baginda tidak ingin sesuatu yang mengerikan terjadi di dalam lingkungan kerajaan. Baginya, memenuhi tantangan putranya hanya akan merugi: menang jadi arang, kalah jadi abu.
“Ampun beribu ampun, Baginda Prabu, hamba membawa kabar yang kurang menyenangkan. Rupanya keprihatinan Paduka benar-benar terjadi. Ananda Kian Santang merencanakan penyerbuan langsung ke dalam istana guna melumpuhkan kekuatan penjagaan. Tentu saja tujuan utamanya adalah Baginda Prabu. Rencana ini akan dilaksanakan orang-orang kepercayaan Ananda Kian Santang, malam ini tepat setelah pergantian penjagaan dilakukan tengah malam ini. Begitulah yang hamba dengar, Baginda Prabu.”
“Ya, aku sudah menduganya. Baiklah, sekarang kau boleh pergi dan lanjutkan pengintaian. Cepat kirim tanda bila pasukan Kian Santang mulai memasuki halaman istana dan sekarang tinggalkan kami berempat di sini.” Singkat sekali jawaban Baginda Prabu.
Serta merta sang utusan menyorongkan sembah penghormatan dan segera berlalu dari ruangan itu, meninggalkan Baginda Prabu dan tiga orang petinggi istana.
“Sekarang kita mulai strategi ini, mendekatlah kalian bertiga,” lanjut Baginda Prabu seraya memberi isyarat kepada ketiga orang itu agar mendekat.
“Setelah kita berubah wujud, berpencarlah keempat arah penjuru mata angin. Kutunggu kalian di satu tempat. Nanti bila keadaan sudah mereda, aku akan kirim tanda agar kalian datang ke tempatku.”
Keadaan di ruangan itu seketika senyap, semua dalam keadaan duduk mematung, memejamkan mata, sambil merapal mantra, dipimpin langsung oleh Baginda Prabu. Beberapa saat lamanya, tiba-tiba sekeliling menjadi gelap gulita, lalu tiba-tiba.. “Tarrr!” Suara halilintar disertai cahaya yang amat menyilaukan mata meliputi seluruh udara di ruangan itu. Empat sosok manusia seperti lenyap ditelan kilatan cahaya yang datang entah darimana. Ketika kilat yang menyambar-nyambar tadi mereda, seketika terlihat empat sosok harimau yang luar biasa besar. Tiga harimau belang coklat-hitam dan satu ekor harimau belang putih-hitam tampak diam, duduk tenang menggantikan empat orang yang tadi duduk di tempat itu. Sementara sosok Baginda Prabu tetap duduk tenang dengan mata terpejam di tempatnya semula. Tak ada sedikit pun suara yang terdengar, kesunyian seakan menjadi satu-satunya tanda kehidupan di dalam ruangan itu.
Seketika terdengar geraman halus dari sosok harimau putih, dan bersamaan dengan itu bayangan nyala api yang mencuat ke langit tinggi melintasi jendela ruangan, “Ya, sekaranglah saatnya, pergilah kalian. Ingat, siapa pun nanti yang bertemu dengan kalian, bila itu kawan mereka akan mengatakan ’silih wangi’ sebagai isyarat.” Kalimat itu keluar dari mulut si harimau putih, sedetik kemudian secara bersamaan keempat ekor harimau perubahan wujud itu melompat dengan tangkas menuju halaman istana melewati 4 buah jendela yang masing-masing menghadap arah mata angin yang berbeda.
Sementara itu, di halaman istana keributan baru saja dimulai. Suara dentang pedang, kujang*, dan tombak memenuhi udara malam yang menegangkan itu. Benar saja, pasukan Kian Santang menyerbu istana tepat setelah pergantian penjaga malam dilakukan. Peperangan tidak bisa dielakkan. Dalam sekejap, seluruh penghuni istana terlibat dalam bentrokan senjata. Teriakan, lengkingan, suara orang-orang yang terlibat dalam bentrokan itu amat mengiris hati. Dalam kegelapan malam terlihat empat ekor harimau perubahan wujud berlari melintas halaman menuju hutan, ladang, sungai dan gunung di luar batas halaman istana.
Rakyat yang merasa kehilangan sang pemimpin, mau tak mau menerima perubahan yang demikian menggemparkan itu. Namun, mereka secara sembunyi-sembunyi kerap bertukar informasi satu sama lain, untuk menanyakan kabar atau keberadaan Baginda Prabu yang hilang tak tahu rimbanya. Mereka akan merasakan ketenangan luar biasa ketika satu sama lain bertukar kode rahasia,“silihwangi”*. Lewat kode itulah mereka akan mendapatkan pesan-pesan yang disampaikan Prabu secara berantai. Seringkali pesan itu berisi himbauan agar masyarakat hendaknya patuh pada raja yang baru saja naik tahta, mendukung segala gerakan yang diajarkan raja yang baru dan jangan segan-segan menerima ajaran agama yang baru tersebut.
Yang kerap membuat para penghuni istana, petinggi istana, dan Raja sendiri heran adalah sejak peralihan kekuasaan itu, seringkali terlihat harimau di sekitar istana. Mereka sungguh tidak tahu bahwa sebagian orang yang memilih untuk memegang kesetiaan pada Baginda Prabu, dengan tekun mempelajari satu ilmu. Ketika sudah cukup ilmu itu dikuasai secara penuh, satu-persatu orang-orang yang memilih setia pada Baginda Prabu akan beralih wujud menjadi seekor harimau belang coklat-hitam dan meninggalkan lingkungan kerajaan menuju hutan, melanjutkan perjalanan menuju sebuah puncak gunung yang seringkali tertutup halimun.
Purnama sudah hampir berada di puncaknya. Di satu tempat yang jauh, di dalam hutan, di puncak gunung yang senantiasa tertutup halimun bermandikan cahaya keperakkan, terlihat ratusan harimau dari berbagai ukuran berkumpul di satu sisi tanah yang agak lapang. Semua diam dan duduk tenang. Di seberang kumpulan harimau itu, duduk tiga orang kepercayaan Baginda Prabu. Sama dengan yang lain, mereka terlihat sangat tenang dan memejamkan mata.
“Kalian semua pengikutku yang setia akan senantiasa melihat dan mendengar kabar baik maupun buruk yang terjadi di tanah kita tercinta. Kalian camkan baik-baik, akan tiba saatnya nanti tatar Sunda bersatu kembali, jauh setelah kalian juga tiada. Maka kuperintahkan pada kalian untuk menerapkan ajaran-ajaranku yang selama ini kusampaikan secara berantai. Hendaklah kalian ’silih asah, silih asih, silih asuh’. Jagalah kehormatan dan kewibawaan kerajaan Sunda. Kutitipkan pada kalian sebuah kitab* yang berisi segala macam aturan dalam menjalankan hidup. Terapkan pesan-pesan dalam kitab itu dimana pun kalian berada dan senantiasa patuhilah pemimpin kalian, entah nanti siapa pun yang memimpin kalian. Aku ada di antara kalian semua, walau aku tak ada. Kini saatnya tiba, aku harus melaksanakan moksa*, menyatu dengan keagungan Sang Hyang Widhi.”
Setelah kalimat perpisahan itu diucapkan Baginda Prabu, seketika sinar keperakan yang menyilaukan mata menutupi tubuhnya, lalu tubuh Baginda Prabu perlahan sirna, hilang ditelan cahaya keperakkan tadi.
Sejak saat itu keturunan demi keturunan raja Sunda, para pujangga, para petinggi kerajaan, dan rakyat jelata di tatar Sunda sangat mempercayai bahwa harimau putih adalah peralihan wujud sang Prabu. Demikian juga dengan harimau belang coklat-hitam, adalah peralihan wujud para pengikut setia sang Prabu. Tidak pernah diketahui apakah Baginda Prabu meninggal dunia. Bagi seluruh rakyat Tatar Sunda, Baginda Prabu adalah penjelmaan dewa yang kerap disebut dengan SILIHWANGI*. Dan seluruh silsilah turun-temurunnya mahkota kerajaan, siapapun yang menduduki singgasana kerajaan Sunda akan bergelar PRABU SILIHWANGI.
Kisah ini dibuat berdasarkan sejarah Kerajaan Padjajaran, adapun kisah yang digali kemungkinan besar belum banyak diketahui, karena memang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Jadi alangkah baiknya bila kisah ini dimasukkan dalam kategori dongeng.
*Kitab : Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, ditulis dalam bahasa Sanksekerta, dengan huruf Palawa kuno.
*Moksa: satu proses spiritual dalam keyakinan agama Hindu yang mengamalkan ajaran melepaskan kesucian bathin dari segala bentuk keduniawian.
*Kujang: Senjata khas daerah Pasundan
*Silihwangi: sebuah prinsip hidup yang didalamnya penuh dengan ajaran cinta kasih dengan sesama, saling menjaga, saling mengingatkan, dan saling mengasuh dalam kebersamaan.
Raja yang amat sakti di seluruh daratan Sunda, bijaksana, dan dicintai seluruh rakyatnya, adalah Sri Baduga Maharaja, Pemimpin gagah perkasa yang senantiasa melindungi rakyatnya, mencintai alam, dan taat pada peraturan alam. Hingga kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan yang “Gemah Ripah Repeh Rapih”, “Gemah Ripah Lohjinawi”
Baginda Prabu memiliki putra mahkota yang sama gagahnya dan sama saktinya, bernama Kian Santang. Namun, sang Putra Mahkota lebih suka menantang kesaktian orang lain. Kegemarannya bertarung, mengadu kehebatan, dan ilmu yang sangat tinggi.
Saat tak ada seorang lawan pun yang sanggup berhadapan dengannya lagi, maka datanglah sang putra mahkota menghadap Sri Baginda.
“Baginda, sampai saat ini tak ada lagi seorang lawan pun yang bisa menandingi ilmuku. Maksud Ananda menghadap, untuk menyampaikan sebuah tantangan. Sudah sepantasnya sekarang aku, putra mahkotamu, menantang laga, mengadu kesaktian karena tidak boleh ada dua orang yang kesaktiannya sama di atas muka bumi ini,” begitu isi tantangan putra mahkota terhadap ayahanda Prabu.
Dan Baginda Prabu menjawab, “Ananda, sebagai seorang ksatria, Ayahanda terima tantanganmu. Namun, alangkah baiknya bila kau menyempurnakan ilmumu terlebih dahulu. Pergilah ke sebuah negeri yang sebagian besar tanahnya terdiri dari gurun pasir. Temukanlah ilmu kesaktian di sana. Bila sudah kau dapatkan, segeralah kembali ke istana. Ayahanda akan menunggumu.”
Demi mendengar syarat dan sekaligus perintah ayahanda, maka Kian Santang segera mampersiapkan diri untuk berangkat ke sebuah negeri seperti yang diperintahkan ayahandanya.
~oOo~
Beberapa tahun kemudian, datanglah satu orang utusan menghadap Baginda Prabu. Sang utusan membawa gulungan daun lontar yang di dalamnya tentu saja sudah tertulis maklumat, yang berisi: “Ayahanda Prabu, telah kusempurnakan ilmu, kini saatnya ayahanda menjawab tantangan ananda. Ananda akan datang di ujung bulan purnama ini.”
Mendengar maklumat yang dibacakan tersebut, pandangan Baginda Prabu menerawang jauh. Dulu alasan beliau meminta ananda Kian Santang mencari ilmu, untuk menambah wawasan agar dia menjadi orang yang bijaksana, Prabu sangat faham dengan sifat sombong putra mahkotanya, ternyata syarat yang telah diberikannya malah berbalik menjadi sebuah ancaman. Baginda Prabu bukannya gentar untuk bertarung. Namun, untuk melawan putranya sendiri? Bagaimana bila salah satu harus terbunuh? Bagaimana bila dirinya yang terbunuh lalu rakyat marah? Atau bila putranya yang terbunuh? Begitu risau hati Baginda Prabu memikirkan maklumat yang disampaikan putranya tersebut.
Bulan purnama sebagai waktu yang ditentukan putranya tinggal 7 hari lagi, segera dikumpulkannya para petinggi kerajaan. Malam ini juga harus sudah terpecahkan jalan keluarnya. Baginda tidak ingin sesuatu yang mengerikan terjadi di dalam lingkungan kerajaan. Baginya, memenuhi tantangan putranya hanya akan merugi: menang jadi arang, kalah jadi abu.
~oOo~
Suasana istana sore 4 hari menjelang laga adu kesaktian Baginda Prabu dan putra mahkota ini seperti biasa. Tak terlihat ada suatu apa pun yang teramat penting. Semuanya berjalan normal. Menjelang gelap malam, penjagaan di sekeliling istana tidak nampak ada yang luar biasa. Namun, bila melongok ke suatu ruang jauh di dalam istana, barulah terasa ketegangan. Pertemuan sedang berlangsung. Tiga petinggi istana duduk dalam diam menyaksikan seorang utusan yang sedang menghadap Baginda Prabu. Utusan itu mengemban tugas yang sangat rahasia. Sudah tiga hari ini dia harus bolak-balik keluar istana tanpa diketahui oleh siapa pun, demi mengintai pergerakan di tempat kediaman Kian Santang. Dan malam ini dia membawa kabar yang amat penting untuk diketahui Baginda.“Ampun beribu ampun, Baginda Prabu, hamba membawa kabar yang kurang menyenangkan. Rupanya keprihatinan Paduka benar-benar terjadi. Ananda Kian Santang merencanakan penyerbuan langsung ke dalam istana guna melumpuhkan kekuatan penjagaan. Tentu saja tujuan utamanya adalah Baginda Prabu. Rencana ini akan dilaksanakan orang-orang kepercayaan Ananda Kian Santang, malam ini tepat setelah pergantian penjagaan dilakukan tengah malam ini. Begitulah yang hamba dengar, Baginda Prabu.”
“Ya, aku sudah menduganya. Baiklah, sekarang kau boleh pergi dan lanjutkan pengintaian. Cepat kirim tanda bila pasukan Kian Santang mulai memasuki halaman istana dan sekarang tinggalkan kami berempat di sini.” Singkat sekali jawaban Baginda Prabu.
Serta merta sang utusan menyorongkan sembah penghormatan dan segera berlalu dari ruangan itu, meninggalkan Baginda Prabu dan tiga orang petinggi istana.
“Sekarang kita mulai strategi ini, mendekatlah kalian bertiga,” lanjut Baginda Prabu seraya memberi isyarat kepada ketiga orang itu agar mendekat.
“Setelah kita berubah wujud, berpencarlah keempat arah penjuru mata angin. Kutunggu kalian di satu tempat. Nanti bila keadaan sudah mereda, aku akan kirim tanda agar kalian datang ke tempatku.”
Keadaan di ruangan itu seketika senyap, semua dalam keadaan duduk mematung, memejamkan mata, sambil merapal mantra, dipimpin langsung oleh Baginda Prabu. Beberapa saat lamanya, tiba-tiba sekeliling menjadi gelap gulita, lalu tiba-tiba.. “Tarrr!” Suara halilintar disertai cahaya yang amat menyilaukan mata meliputi seluruh udara di ruangan itu. Empat sosok manusia seperti lenyap ditelan kilatan cahaya yang datang entah darimana. Ketika kilat yang menyambar-nyambar tadi mereda, seketika terlihat empat sosok harimau yang luar biasa besar. Tiga harimau belang coklat-hitam dan satu ekor harimau belang putih-hitam tampak diam, duduk tenang menggantikan empat orang yang tadi duduk di tempat itu. Sementara sosok Baginda Prabu tetap duduk tenang dengan mata terpejam di tempatnya semula. Tak ada sedikit pun suara yang terdengar, kesunyian seakan menjadi satu-satunya tanda kehidupan di dalam ruangan itu.
Seketika terdengar geraman halus dari sosok harimau putih, dan bersamaan dengan itu bayangan nyala api yang mencuat ke langit tinggi melintasi jendela ruangan, “Ya, sekaranglah saatnya, pergilah kalian. Ingat, siapa pun nanti yang bertemu dengan kalian, bila itu kawan mereka akan mengatakan ’silih wangi’ sebagai isyarat.” Kalimat itu keluar dari mulut si harimau putih, sedetik kemudian secara bersamaan keempat ekor harimau perubahan wujud itu melompat dengan tangkas menuju halaman istana melewati 4 buah jendela yang masing-masing menghadap arah mata angin yang berbeda.
Sementara itu, di halaman istana keributan baru saja dimulai. Suara dentang pedang, kujang*, dan tombak memenuhi udara malam yang menegangkan itu. Benar saja, pasukan Kian Santang menyerbu istana tepat setelah pergantian penjaga malam dilakukan. Peperangan tidak bisa dielakkan. Dalam sekejap, seluruh penghuni istana terlibat dalam bentrokan senjata. Teriakan, lengkingan, suara orang-orang yang terlibat dalam bentrokan itu amat mengiris hati. Dalam kegelapan malam terlihat empat ekor harimau perubahan wujud berlari melintas halaman menuju hutan, ladang, sungai dan gunung di luar batas halaman istana.
~oOo~
Sejak pemberontakan di istana, para pengikut Baginda Prabu yang setia memilih untuk meninggalkan istana. Sebagian memilih untuk melintasi daratan Tatar Sunda dan menetap di pedalaman, sesuai dengan perintah Baginda yang dipercayakan kepada tiga orang petinggi istana. Kian Santang segera menjadi Raja yang baru, menggantikan ayahandanya. Walaupun begitu, Kian Santang tidak merasa puas karena tidak berhasil berhadapan langsung dengan ayahanda Prabu guna bertarung ilmu, menentukan siapa yang lebih berkuasa dengan ilmunya yang sangat tinggi. Ketika pasukannya berhasil menguasai istana, satu ruangan penting yang sangat dikenal oleh Kian Santang sebagai tempat pertemuan para petinggi istana yang kerap digunakan ayahnya, didapati dalam keadaan kosong. Adapun sosok Baginda yang sepeninggal empat ekor harimau di malam itu seperti sedang melakukan semedi, saat ditemukan Kian Santang, perlahan berubah menjadi arca.Rakyat yang merasa kehilangan sang pemimpin, mau tak mau menerima perubahan yang demikian menggemparkan itu. Namun, mereka secara sembunyi-sembunyi kerap bertukar informasi satu sama lain, untuk menanyakan kabar atau keberadaan Baginda Prabu yang hilang tak tahu rimbanya. Mereka akan merasakan ketenangan luar biasa ketika satu sama lain bertukar kode rahasia,“silihwangi”*. Lewat kode itulah mereka akan mendapatkan pesan-pesan yang disampaikan Prabu secara berantai. Seringkali pesan itu berisi himbauan agar masyarakat hendaknya patuh pada raja yang baru saja naik tahta, mendukung segala gerakan yang diajarkan raja yang baru dan jangan segan-segan menerima ajaran agama yang baru tersebut.
Yang kerap membuat para penghuni istana, petinggi istana, dan Raja sendiri heran adalah sejak peralihan kekuasaan itu, seringkali terlihat harimau di sekitar istana. Mereka sungguh tidak tahu bahwa sebagian orang yang memilih untuk memegang kesetiaan pada Baginda Prabu, dengan tekun mempelajari satu ilmu. Ketika sudah cukup ilmu itu dikuasai secara penuh, satu-persatu orang-orang yang memilih setia pada Baginda Prabu akan beralih wujud menjadi seekor harimau belang coklat-hitam dan meninggalkan lingkungan kerajaan menuju hutan, melanjutkan perjalanan menuju sebuah puncak gunung yang seringkali tertutup halimun.
~oOo~
Malam ini merupakan purnama ke-101 sejak peralihan kekuasaan, ketiga orang kepercayaan Baginda Prabu sudah melihat sebuah tanda di langit yang mulai menghitam walaupun ketiganya berada di tempat yang berlainan. Rupanya tiba saatnya bagi mereka untuk memenuhi panggilan untuk datang ke suatu tempat di mana Baginda Prabu berada. Ketiga orang itu perlahan meninggalkan tempatnya masing-masing menuju ruangan khusus untuk bersemedi. Sesaat kemudian, satu persatu beralih wujud menjadi harimau dan secepat kilat berlari menuju tempat di mana tanda yang dikirimkan pada mereka tadi berasal.Purnama sudah hampir berada di puncaknya. Di satu tempat yang jauh, di dalam hutan, di puncak gunung yang senantiasa tertutup halimun bermandikan cahaya keperakkan, terlihat ratusan harimau dari berbagai ukuran berkumpul di satu sisi tanah yang agak lapang. Semua diam dan duduk tenang. Di seberang kumpulan harimau itu, duduk tiga orang kepercayaan Baginda Prabu. Sama dengan yang lain, mereka terlihat sangat tenang dan memejamkan mata.
“Kalian semua pengikutku yang setia akan senantiasa melihat dan mendengar kabar baik maupun buruk yang terjadi di tanah kita tercinta. Kalian camkan baik-baik, akan tiba saatnya nanti tatar Sunda bersatu kembali, jauh setelah kalian juga tiada. Maka kuperintahkan pada kalian untuk menerapkan ajaran-ajaranku yang selama ini kusampaikan secara berantai. Hendaklah kalian ’silih asah, silih asih, silih asuh’. Jagalah kehormatan dan kewibawaan kerajaan Sunda. Kutitipkan pada kalian sebuah kitab* yang berisi segala macam aturan dalam menjalankan hidup. Terapkan pesan-pesan dalam kitab itu dimana pun kalian berada dan senantiasa patuhilah pemimpin kalian, entah nanti siapa pun yang memimpin kalian. Aku ada di antara kalian semua, walau aku tak ada. Kini saatnya tiba, aku harus melaksanakan moksa*, menyatu dengan keagungan Sang Hyang Widhi.”
Setelah kalimat perpisahan itu diucapkan Baginda Prabu, seketika sinar keperakan yang menyilaukan mata menutupi tubuhnya, lalu tubuh Baginda Prabu perlahan sirna, hilang ditelan cahaya keperakkan tadi.
Sejak saat itu keturunan demi keturunan raja Sunda, para pujangga, para petinggi kerajaan, dan rakyat jelata di tatar Sunda sangat mempercayai bahwa harimau putih adalah peralihan wujud sang Prabu. Demikian juga dengan harimau belang coklat-hitam, adalah peralihan wujud para pengikut setia sang Prabu. Tidak pernah diketahui apakah Baginda Prabu meninggal dunia. Bagi seluruh rakyat Tatar Sunda, Baginda Prabu adalah penjelmaan dewa yang kerap disebut dengan SILIHWANGI*. Dan seluruh silsilah turun-temurunnya mahkota kerajaan, siapapun yang menduduki singgasana kerajaan Sunda akan bergelar PRABU SILIHWANGI.
~SELESAI~
Keterangan:Kisah ini dibuat berdasarkan sejarah Kerajaan Padjajaran, adapun kisah yang digali kemungkinan besar belum banyak diketahui, karena memang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Jadi alangkah baiknya bila kisah ini dimasukkan dalam kategori dongeng.
*Kitab : Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, ditulis dalam bahasa Sanksekerta, dengan huruf Palawa kuno.
*Moksa: satu proses spiritual dalam keyakinan agama Hindu yang mengamalkan ajaran melepaskan kesucian bathin dari segala bentuk keduniawian.
*Kujang: Senjata khas daerah Pasundan
*Silihwangi: sebuah prinsip hidup yang didalamnya penuh dengan ajaran cinta kasih dengan sesama, saling menjaga, saling mengingatkan, dan saling mengasuh dalam kebersamaan.